Surabaya, 23 Desember 2021 RKUHP Memiliki Dampak Buruk bagi Program Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia! Sejalan dengan target global untuk mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030, maka Indonesia telah menetapkan untuk mencapai 90-90 -90 dan… Lainnya
Nonbiner, Hak atau Ancaman? Tanggapan Generasi Z Mengenai Gender “Baru”
Ditulis oleh Antonia Pramesi.
Dalam era globalisasi ini, masyarakat Indonesia diperkenalkan berbagai macam teori dan konsep “asing”. Kaum muda zaman ini alias Generasi Z, menjadi penggerak utama dalam terjadinya pertukaran pemikiran dan budaya dengan dunia luar. Generasi Z sering digambarkan di mata masyarakat, terutama di Indonesia, sebagai generasi yang penuh pemberontakan dan perlawanan. Tumbuh besar selama era digitalisasi telah membuka pintu bagi Generasi Z untuk terbiasa dengan derasnya arus informasi yang bersifat konstan dan menerus. Dengan itu, Generasi Z relatif lebih terbuka dalam menanggapi kebudayaan yang tidak biasa. Hal ini dapat kita lihat dari cara mereka menyambut komunitas LGBTQ+ terutama gender-gender dalam payung nonbiner.
Bagi beberapa orang, nonbiner dilihat sebagai hal yang asing. Paham nonbiner yang “tidak selaras” dengan budaya Indonesia menjadi pembelaan utama bagi orang-orang yang ingin menyingkirkan adanya komunitas nonbiner dalam masyarakat Indonesia. Namun, bagaimana kalau nonbiner bukan sepenuhnya merupakan pengaruh kebudayaan lain?
Sebelum mengenal lebih lanjut mengenai nonbiner pada kebudayaan Indonesia, sebenarnya apa sih nonbiner? Nonbiner adalah istilah identitas gender yang tidak merujuk
secara khusus terhadap laki-laki ataupun perempuan. Dilansir dari Trans Equality, tidak semua manusia di Bumi ini dapat dikategorikan sebagai perempuan dan laki-laki. Meskipun mereka memiliki alat kelamin selayaknya jantan dan betina, namun mereka tidak dapat dikategorikan ke dalam sebuah gender.
Komunitas nonbiner merupakan salah satu bagian dari inisiasi LGBT yang awal mulai pada tahun 1990-an. Gerakan yang meluas ke seluruh sudut dunia terus berjuang untuk hak-hak komunitas tersebut. Organisasi yang bergerak dalam memperjuangkan hak-hak LGBT sudah muncul di Indonesia loh! Seperti Queer Indonesia Archive, GAYa NUSANTARA, dan Arus Pelangi. Gerakan ini ditanggapi dengan berbagai macam perspektif, ada yang menerima dan mendukung namun ada juga masyarakat yang menolak, bahkan menindas komunitas LGBT tersebut. Lembaga survei Saiful Mujani Research Center melakukan sebuah penelitian pada tahun 2016-2017 untuk menilai pengetahuan warga Indonesia tentang LGBT. 58,3% menjawab mereka pernah dengar tentang LGBT, antara itu 41,1% menyatakan LGBT tidak memiliki hak hidup di Indonesia. Keterbatasan hak hidup untuk komunitas LGBT karena pandangan konservatif dan dasar keagamaan yang hadir di bangsa Indonesia. Khususnya keberadaan orientasi seksual nonbiner yang masih belum banyak dikenal oleh masyarakat luas.
Nah, setelah mengerti mengenai apa itu nonbiner, bagaimana kaitannya dengan budaya Indonesia? Walaupun tidak banyak orang yang mengetahui, dalam kebudayaan Indonesia sendiri, nonbiner sudah ada sejak dulu, contoh konkret dari hal tersebut adalah kebudayaan masyarakat Bugis yang mengakui lima jenis gender. Mereka membagi masyarakat berdasarkan gendernya menjadi laki-laki (oroane), perempuan (makkunrai), laki-laki menyerupai perempuan (calabai), perempuan menyerupai laki-laki (calalai), dan pendeta androgin (bissu). Selain itu, ada juga masyarakat Toraja yang mengakui adanya
gender ketiga, yaitu to burake tambolang (seorang pria yang berpakaian sebagai seorang wanita).
Dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, kita semakin mengenal bahwa budaya nonbiner sudah ada sejak dahulu di Indonesia dan bukan sepenuhnya pengaruh dari budaya asing. Kebudayaan-kebudayaan nonbiner tersebut pada akhirnya hilang atau sudah jarang dilestarikan oleh masyarakat semenjak masuknya ajaran-ajaran agama serta pendidikan yang menentang LGBTQ+.
Pengenalan kembali gender-gender di bawah payung nonbiner yang merupakan pengaruh negeri luar menimbulkan respon beragam dari masyarakat Indonesia. Tanggapan Generasi Z cenderung lebih menyambut jika dibandingkan dengan Generasi Y dan X. Namun, tidak semua bagian dari Generasi Z memiliki tanggapan yang sama, dan hal itu dibuktikan oleh hasil wawancara terhadap remaja generasi Z dengan rentang 15-19 tahun.
Wawancara menunjukkan bahwa tidak semua generasi Z menyadari keberadaan gender nonbiner di Indonesia, baik secara umum maupun budaya tradisionalnya di Indonesia. Sebagian besar, 57,1% lebih tepatnya; telah mendengar tentang nonbiner secara umum, 66,7% tidak menyadari keberadaan budaya tradisional nonbiner di Indonesia, dan 28,6% tidak tahu apa-apa tentang nonbiner maupun budaya tradisionalnya di Indonesia.
Pengetahuan serta pendapat setiap narasumber menunjukkan bahwa pandangan Generasi Z terhadap komunitas nonbiner unik dan sangat beragam, sehingga tidak dapat dipukul rata. Kebanyakan memilih untuk bersikap netral terhadap komunitas nonbiner. Satu narasumber berpesan, sebagai masyarakat kita harus semakin sadar mengenai komunitas nonbiner di Indonesia. Beberapa mengatakan untuk menghargai pilihan komunitas nonbiner dalam mengekspresikan identitas gender mereka dan tetap memperlakukan mereka sebagaimana kita memperlakukan manusia pada umumnya. Namun, ada pula yang masih
menentang konsep identitas nonbiner di Indonesia, tetapi di saat yang bersamaan tetap ingin menghargai mereka sebagai sesama manusia. Nah, dari seluruh pemaparan informasi tadi, apa yang bisa kita simpulkan? Kita jadi tahu bahwa nonbiner merupakan konsep yang sangat kompleks dan dinamis, maka tidak mengejutkan kalau sebagian besar dari remaja belum sepenuhnya tahu maupun kenal dengan adanya komunitas tersebut dalam masyarakat dan budaya Indonesia. Komunitas-komunitas queer, terutama nonbiner yang telah lama tertindas dan tersingkirkan berhak untuk diperlakukan sebagai manusia. Untuk menyadari sebuah perbedaan antara anggota masyarakat bukanlah sebuah alasan untuk mendiskriminasi komunitas tersebut, melainkan menumbuhkan rasa toleran dalam diri masing-masing.
Bissu, atau imam transgender, adalah salah satu dari lima jenis kelamin[¹] yang diakui oleh Bugis
Penulis:
Sharyn Graham Davies
Guru Besar Madya Ilmu-ilmu Sosial, Auckland University of Technology
Tulisan asli dimuat sebagai https://theconversation.com/what-we-can-learn-from-an-indonesian-ethnicity-that-recognizes-five-genders-60775. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Kathleen Azali, dengan suntingan akhir oleh Dédé Oetomo. GAYa NUSANTARA mengucapkan terima kasih kepada Sharyn dan Kat, dan Auckland University of Technology (yang menyediakan dana penerjemahan).
Pada tanggal 13 Juni, ketika seorang hakim di Oregon memperbolehkan orang untuk secara legal memilih tidak diklasifikasikan sebagai laki-laki ataupun perempuan, atau sebagai “non-biner”, para aktivis transgender bersukacita. Ini dianggap sebagai keputusan penting di negara yang hingga sejauh ini, menuntut orang untuk menandai jenis kelamin “laki-laki” atau “perempuan” dalam dokumen identitas resmi.
Kemenangan kecil tersebut timbul di tengah-tengah kontroversi undang-undang baru di North Carolina yang menghalangi orang-orang transgender menggunakan toilet umum yang tidak cocok dengan jenis kelamin di akte kelahiran mereka.
Konflik yang berakar dalam kebijakan-kebijakan ini bukanlah hal yang baru. Selama bertahun-tahun, orang telah mempertanyakan apakah bentuk “jenis kelamin” di mana kita dilahirkan harus mendikte hal-hal seperti fasilitas umum yang dapat kita gunakan, apa yang harus dicawang dalam aplikasi paspor, dan siapa yang dapat turut serta berpartisipasi dalam tim olahraga tertentu.
Tapi bagaimana jika jenis kelamin dilihat dengan cara yang sama seperti peneliti Alfred Kinsey menggambarkan seksualitas — sebagai sesuatu dalam skala yang dapat bergeser?
Bahkan, ada satu suku di Sulawesi Selatan, Indonesia — Bugis — yang memandang jenis kelamin dengan cara seperti ini. Untuk penelitian S3, saya tinggal di Sulawesi Selatan pada akhir 1990-an untuk mempelajari lebih lanjut berbagai cara masyarakat Bugis memahami seks dan gender. Saya akhirnya menuliskan pemahaman mereka dalam buku saya, “Gender Diversity in Indonesia.”
¹Penerjemah memilih istilah “jenis kelamin” agar tulisan ini terkesan akrab bagi orang kebanyakan. Di lingkungan GAYa NUSANTARA, seperti juga pada banyak kalangan akademik, dibedakan istilah “seks biologis” dari “gender,” yang dipahami sebagai dikonstruksi (dirajut) secara sosial-budaya. Istilah “jenis kelamin” dalam bahasa Indonesia mengacu kepada kedua hal itu sekaligus.
Apakah masyarakat mendikte jenis kelamin kita?
Bagi banyak intelektual, misalnya seperti teoretikus ahli gender Judith Butler, mewajibkan semua orang untuk memilih antara toilet “perempuan” dan “laki-laki” itu tidak masuk akal karena pada awalnya, tidak ada jenis kelamin.
Menurut cara pikir ini, jenis kelamin tidak berarti apa-apa sampai kita mulai menjalankan peran “jenis kelamin” tersebut melalui pakaian kita, cara kita berjalan, berbicara, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, memiliki penis tidak berarti apa-apa sebelum masyarakat mulai mengatakan bahwa jika anda memiliki penis, anda tidak dapat mengenakan rok (kecuali rok kilt Skotlandia).
Meskipun demikian, sebagian besar orang berbicara tentang jenis kelamin seakan semua orang di planet ini lahir secara pasti sebagai perempuan atau laki-laki. Teoretikus gender seperti Butler berdebat bahwa manusia terlalu kompleks dan beragam untuk memungkinkan tujuh miliar orang harus dipaksakan masuk ke dalam salah satu dari dua kubu tersebut.
Permasalahan ini terlihat paling jelas dalam bagaimana dokter mengobati anak yang lahir dengan jenis kelamin “tidak jelas” (misalnya, mereka yang lahir dengan sindrom insensitivitas androgen, hipospadias atau sindrom Klinefelter). Dalam kasus di mana jenis kelamin anak tidak jelas, dokter acapkali hanya bergantung pada ukuran alat kelamin—jika terlalu panjang, maka klitoris dapat dilabeli sebagai penis, atau sebaliknya. Pelabelan yang sewenang-wenang ini memaksa anak di bawah salah satu definisi jenis kelamin, daripada membiarkan anak tumbuh secara alamiah dengan tubuh mereka.
Gender dalam spektrum
Mungkin cara yang lebih berguna untuk melihat jenis kelamin adalah dengan melihatnya sebagai sebuah spektrum.
Meskipun semua masyarakat memiliki tingkatan dan keberagaman gender, dengan peran-peran khusus untuk perempuan dan laki-laki, ada juga masyarakat tertentu—atau, setidaknya, individu dalam masyarakat—yang memiliki pemahaman bernuansa terhadap hubungan antara seks biologis (tubuh fisik), gender (bagaimana budaya mengkonstruksi tubuh) dan seksualitas (tubuh seperti apa yang dihasratkan).
Meski sering tampil di berita untuk serangan teror dan eksekusi, Indonesia sebenarnya adalah negara yang sangat toleran. Bahkan, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar keempat di dunia, dan lebih jauh lagi, tidak seperti North Carolina, Indonesia saat ini tidak memiliki kebijakan anti-LGBT. Selain itu, warga di Indonesia dapat memilih mencantumkan “transgender” (waria) pada kartu identitas mereka (meskipun dengan munculnya gelombang baru kekerasan terhadap orang-orang LGBT yang belum pernah terjadi sebelumnya, ini dapat berubah).
Suku Bugis adalah kelompok etnis terbesar di Sulawesi Selatan, berjumlah sekitar tiga juta orang. Kebanyakan orang Bugis adalah Muslim, tetapi ada banyak ritual pra-Islam yang terus dihormati dalam budaya Bugis, dan ini meliputi pandangan berbeda mengenai gender dan seksualitas.
Bahasa mereka menawarkan lima istilah yang merujuk pada berbagai paduan jenis kelamin, gender, dan seksualitas: makkunrai (“perempuan betina[²]”), oroani (“laki-laki jantan”), calalai (“laki-laki betina”), calabai (“perempuan jantan”) dan bissu (“imam transgender”). Definisi singkat ini tidak benar-benar tepat, tapi cukup menjelaskan.
Pada tahap awal penelitian S3, saya berdiskusi dengan seorang laki-laki, yang meskipun tidak menempuh pendidikan formal, adalah pemikir sosial yang kritis.
Saat saya sedang kebingungan bagaimana orang Bugis memahami seks biologis, gender, dan seksualitas, dia menunjukkan bagaimana saya salah dalam berpikir bahwa hanya ada dua jenis kelamin yang berbeda, perempuan dan laki-laki. Dia mengatakan kepada saya bahwa kita semua berada dalam spektrum:
Bayangkan seseorang ada di sini, di akhir garis, dan bahwa ia adalah, apa yang akan anda sebut sebagai, XX. Dan kemudian Anda bepergian di sepanjang garis ini sampai anda tiba di ujung yang lain, dan itu XY. Tapi di sepanjang garis ini, ada berbagai macam orang dengan berbagai macam susunan dan karakter yang berbeda.
Spektrum jenis kelamin ini adalah cara yang baik untuk berpikir tentang kerumitan dan keberagaman manusia. Ketika jenis kelamin dilihat melalui lensa ini, hukum North Carolina yang melarang orang menggunakan toilet yang mereka pilih menjadi terdengar sewenang-wenang, memaksa orang untuk masuk ke dalam ruang yang mungkin bertentangan dengan identitas mereka.
²Istilah “betina” dan “jantan” digunakan untuk membedakan seks biologis dari gender yang sosial- budaya (“perempuan” dan “laki-laki”).
Pernyataan Sikap Kami Atas Pembubaran Paksa Pekan Olahraga & Seni (Porseni) Waria-Bissu Se-Sulawesi Selatan di Kabupaten Soppeng
Merujuk surat pernyataan sikap dari Federasi Arus Pelangi (http://www.plush.or.id/2017/01/pernyataan-sikap-federasi-arus-pelangi.html), YLBHI bersama 15 LBH se-Indonesia (http://aruspelangi.org/siaran-pers/pernyataan-bersama-ylbhi-15-kantor-lbh-se-indonesia-pembubaran-paksa-porseni-waria-bissu-di-soppeng) dan LBH Masyarakat (http://lbhmasyarakat.org/rilis-pers-pembubaran-porseni) terkait pembubaran paksa Porseni Waria-Bissu se-Sulawesi Selatan, yang merupakan kegiatan tahunan yang ke-23 Forum Kerukunan Waria-Bissu Sulawesi Selatan pada tanggal 19 Januari 2017, di Soppeng, Sulawesi Selatan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan,
Yayasan GAYa NUSANTARA mengecam tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan itu. Polisi tidak hanya menggagalkan Porseni, tetapi juga menciptakan teror dan rasa takut dengan memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan peserta. Pembubaran paksa ini menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ+ di Indonesia.
Dalam semua kasus tersebut, polisi menolak bertanggung jawab atas serangan oleh kelompok antidemokrasi. Alih-alih menjalankan mandatnya melindungi segenap warga negara, polisi justru merenggut hak warga negara dalam berkumpul, dan berpendapat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Yayasan GAYa NUSANTARA menuntut:
- Presiden Joko Widodo agar konsisten dengan pernyataannya dalam wawancara dengan BBC bahwa hak-hak LGBT akan dilindungi.
- Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, yang nota bene berasal dari Sulawesi Selatan dan suku Bugis, agar konsisten dengan dukungannya terhadap penerbitan epos La Galigo, di mana calabai (waria), calalai dan bissu mendapatkan tempat terhormat.
- Pemerintah Republik Indonesia untuk mengusut dan menindak tegas tindakan inkonstitusional Gubernur Sulawesi Selatan, Bupati Soppeng, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, dan Kepolisian Resort Kabupaten Soppeng yang tidak memberikan jaminan rasa aman terhadap warga negara, dalam hal ini khususnya para waria-bissu dan masyarakat Soppeng.
- Pemerintah Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengambil sikap tegas terhadap tindak-tindak kekerasan dan ancaman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran seperti FUIS (Forum Umat Islam Soppeng).
- Kepolisian Republik Indonesia untuk menjalankan mandatnya melindungi warga Negara, yang telah tertuang jelas dalam Tri Brata dan Catur Prasetya Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian RI).
- Mendesak Komnas HAM untuk melakukan pemantauan lapangan atas tindakan pelanggaran HAM oleh pihak Kepolisian dan pemerintah daerah terkait pembubaran kegiatan budaya Porseni Waria-Bissu Sulawesi Selatan, dan mendorong adanya pertanggungjawaban HAM oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan.
Surabaya, 21 Januari 2017
Dede Oetomo (Dewan Pembina Yayasan GAYa NUSANTARA)
Rafael H da Costa (Ketua Yayasan)
Slamet (Sekretaris Yayasan)
Donasi
GAYa NUSANTARA sudah berdiri selama lebih dari 30 tahun, dan kami masih ingin terus memperjuangkan apa yang menjadi hak teman-teman LGBTIQ di Indonesia.
Sudah banyak sekali dukungan yang telah diberikan kepada kami selama ini, baik itu berupa ide gerakan, tulisan, tenaga, dan uang dari Indonesia dan luar negeri.
Untuk terus dapat bergerak maju, GAYa NUSANTARA masih membutuhkan bantuan teman-teman.
Dukungan dana, bisa melalui 3 cara di bawah:
- CIMB Niaga, 800074-991-400, a/n Yayasan Gaya Nusantara
- www.kitabisa.com/gayanusantara
- PayPal dan kartu kredit di sini.
Pernyataan Sikap Penggerebekan “Pesta Sex”
Pernyataan Sikap Terkait Penggerebekan ‘Pesta Seks’ Gay di Hotel Oval, Surabaya, 30 April 2017
Dalam menyikapi kasus ini, kami dari Yayasan GAYa NUSANTARA Surabaya telah melakukan konsultasi dan komunikasi dengan berbagai pihak terkait, baik lokal maupun nasional, seperti : LBH Surabaya, KontraS, CMars, Arus Pelangi, Suara Kita dan YLBHI. Upaya ini dilakukan untuk pendampingan hukum dan sosial bagi 14 orang yang ditahan dengan tuduhan pidana UU Pornografi (pasal 32, 33 dan 34) dan UU ITE (pasal 45).
Yayasan GAYa NUSANTARA bersama CMars sudah berkunjung ke ruang tahanan Polrestabes Surabaya, namun masih belum mendapatkan banyak informasi karena keterbatasan waktu berkunjung. Kegiatan selanjutnya akan dilakukan oleh LBH Surabaya sebagai Pendamping Hukum.
Surabaya, 03 Mei 2017
Yayasan GAYa NUSANTARA