Surabaya, 23 Desember 2021

RKUHP Memiliki Dampak Buruk bagi Program Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia!

Sejalan dengan target global untuk mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030, maka Indonesia telah menetapkan untuk mencapai 90-90 -90 dan three zero/3.0 HIV AIDS dan PIMS pada tahun 2020-2024. Terdapat enam strategi pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan PIMS yaitu:

  • Penguatan komitmen dari kementerian/lembaga yang terkait di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota,
  • Peningkatan dan perluasan akses masyarakat pada layanan skrining, diagnostik dan pengobatan HIV AIDS dan PIMS yang komprehensif dan bermutu,
  • Penguatan program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan PIMS berbasis data dan dapat dipertanggungjawabkan,
  • Penguatan kemitraan dan peran serta masyarakat termasuk pihak swasta, dunia usaha, dan multisektor lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional,
  • Pengembangan inovasi program sesuai kebijakan pemerintah, dan
  • Penguatan manajemen program melalui monitoring, evaluasi, dan tindak lanjut.

Dalam tujuan program Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS pada tahun 2020-2024 3 diantara tujuan 5 program yaitu Menurunkan infeksi baru HIV |, Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA dan Menurunkan infeksi baru Sifilis yang memiliki aktifitas untuk melakukan kampanye kondom serta memiliki target jangkauan populasi beresiko diantaranya pekerja seks komersial, laki laki yang melakukan seks dengan laki laki dan konsumen Narkotika suntik maka rencana perubahan KUHP akan memiliki dampak terhadap tujuan program tersebut.

Pasal-pasal beserta dampak yang akan ditimbulkan, sebagai berikut:

1. Pasal kriminalisasi mempertunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak pada Pasal 414-416 RKUHP. Dampak dari pelarang tersebut akan mempengaruhi:

  • Remaja (termasuk di usia di bawah 18 tahun) merupakan target pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi.
  • Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV: Dari 10 peraturan perundang-undangan tentang penanggulangan HIV/AIDS di Indoensia, 6 diantaranya memuat aturan tentang “kampanye penggunaan kondom” pada perilaku seks beresiko, dan kesemuanya kewenangan untuk memberikan informasi tersebut kepada masyarakat secara luas, secara jelas kriminalisasi perbuatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan/ kontrasepsi bertentangan dengan upaya penanggulangan HIV.
  • Kriminalisasi Mengancam Kesehatan Masyarakat: Kontrasepsi menjadi penting untuk memastikan masyarakat terlindungi dari transmisi HIV/AIDS akibat perilaku beresiko.
  • Ketentuan tentang aturan izin dari pejabat yang berwenang untuk melakukan edukasi terhadap anak akan menghambat upaya informasi terhadap kesehatan reproduksi oleh orang tua, tenaga pendidik dan masyarakat yang selama ini sangat efektif.
  • Padahal, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan 2017 Buku Remaja oleh BKKBN juga, diskusi tentang kesehatan reproduksi pada remaja paling banyak dilakukan oleh teman sebaya, (62% wanita, 51% pria), disusul diskusi oleh orang tua, saudara ataupun guru. Petugas formal tidak berada di posisi sebagai rujukan pertama dalam diskusi tentang kesehatan reproduksi. Artinya, ketika mengatur hanya “petugas yang berwenang” yang berhak memberikan informasi, maka ruang diskusi kesehatan reproduksi akan berdampak.

2. Pasal 417 tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan. Pasal ini akan memiliki dampak:

  • Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV: transmisi HIV paling tinggi justru terjadi pada orang yang terestimasi telah menikah, sedangkan dalam KUHP yang saat ini berlaku sekalipun, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan dimana salah satu pihak terikat dalam perkawinan sudah dikriminalisasi. Ikatan perkawinan tidak dapat menjamin bahwa perilaku beresiko tidak dilakukan.
  • Dengan adanya bayang-bayang kriminalisasi, maka perbuatan melakukan hubungan seksual di luar hubungan perkawinan termasuk melakukan hubungan seks dengan pekerja seks dianggap sebagai tindak pidana. Itu berarti orang yang terlibat dalam perilaku beresiko tersebut tidak akan mengakses layanan.

3. Pasal kriminalisasi pencabulan sesama jenis pada Pasal 420 RKUHP. Pasal ini berdampak pada:

  • Penyebutan secara spesifik “sama jenisnya” merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksualnya dan akan berdampak kepada program Penanggulangan HIV AIDS dimana Laki laki yang melakukan hubungan seks dengan laki laki merupakan salah satu populasi kunci yang menjadi target program penanggulanan HIV AIDS.

4. Diaturnya tindak pidana narkotika dalam Pasal 610-615 RKUHP. Pasal-pasal mengenai narkotika akan berdampak:

  • Stigma Narkotika Sebagai Masalah Kriminal Bukan sebagai Masalah Kesehatan: Dengan diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP negara justru secara jelas mengakomodir bahwa pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah narkotika adalah dengan pendekatan pidana. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat.

Atas hal ini, kami GAYa NUSANTARA dan Rumah Cemara menuntut agar Pemerintah sebagai pemegang draft RKUHP saat ini, untuk:

  • Kembali meninjau dan melakukan perbaikan pada rumusan RKUHP, karena RKUHP masih berpontensi memberikan diskriminasi terhadap Populasi Kunci yang menjadi target jangkauan program Penanggulangan HIV AIDS Nasional.
  • Memberikan kepada publik draft RKUHP yang akan diberikan kepada DPR.
  • Pertanggungjawabkan setiap perubahan yang dilakukan Pemerintah terhadap RKUHP.