Tulisan asli dimuat sebagai http://asaa.asn.au/indonesian-tolerance-under-strain-as-anti-lgbt-furore-grows. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Purba Widnyana, dengan suntingan akhir oleh Dédé Oetomo. GAYa NUSANTARA mengucapkan terima kasih kepada Sharyn dan Purba, dan Auckland University of Technology (yang menyediakan dana penerjemahan).
Indonesia sedang mengalami gelombang sentimen anti-LGBT yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Jika ada satu peristiwa yang memicu gelombang kekerasan terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) saat ini di Indonesia, mungkin dapat kita tetapkan pada tersinggungnya seorang menteri menyaksikan LGBT menjadi terlihat dalam solidaritas.
Sesudah diberitahu tentang kelompok dukungan LGBT di sebuah universitas, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Indonesia, Muhammad Nasir, secara terbuka menyatakan pada bulan Januari 2016 bahwa perguruan tinggi harus menegakkan standar “nilai-nilai dan moral” dan karena itu tidak boleh mendukung organisasi yang mempromosikan kegiatan LGBT.
Bukti yang dikemukakan oleh Nasir adalah keberadaan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (Kelompok Dukungan dan Pusat Sumber Daya Kajian Seksualitas, SGRC) yang berada di University of Indonesia—dia tidak memperhatikan bahwa SGRC bukanlah organisasi LGBT dan bahwa kelompok LGBT Peer Support (Dukungan Sebaya LGBT) yang berada di bawah naungannya tidak mencoba mengubah orang, melainkan memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai hal-hal seperti kesehatan seksual.
Pernyataan balasan melawan pernyataan sang menteri sesudahnya mengakibatkan Nasir menekankan bahwa ia tidak menentang LGBT dan, memang, LGBT memiliki hak untuk bergabung dengan organisasi, seperti halnya setiap warga negara Indonesia. Nasir menambahkan, “Kami tidak menentang LGBT melainkan aktivitasnya … [M]asalahnya adalah ketika mereka menunjukkan kemesraan, berciuman, dan bercinta (di depan umum).”
Dengan kata lain, Nasir tidak khawatir tentang LGBT itu sendiri, melainkan merasa terancam oleh gerakan-gerakan yang dirasa meningkatkan visibilitas kolektif LGBT. Demikian pula, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Ketua Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan, berkomentar, “Sebagai sebuah gerakan, keberadaan LGBT harus ditentang. Kita harus membatasi ruang geraknya. Namun, sebagai individu, mereka harus dilindungi seperti warga lainnya.” Yang jadi persoalan adalah ketakutan LGBT akan tampil dalam solidaritas dan, seperti dicatat antropolog Tom Boellstorff, dalam kewargaan nasional.
Ketidaktampakan telah memberikan perlindungan bagi banyak LGBT di Indonesia. Ketidaktampaan ini dicapai dengan cara menikah secara heteroseksual, seolah-olah memperkuat heteronormativitas and berhati-hati dalam melakukan kegiatan politik. Beberapa orang tetap memunculkan dirinya dan para waria seperti tokoh televisi Dorce Gamalama dikenal oleh banyak orang—bahkan, Presiden Joko Widodo pernah muncul bersama Dorce di acara-acara publik.
Pada umumnya, toleransi, dan ada kalanya penerimaan, diperoleh LGBT di Indonesia dengan cara komunitasnya acapkali tidak menonjolkan diri dan melalui interaksi politik strategis. Dengan mempertimbangkan nilai ketidaktampakan ini, tidak mengherankan bahwa peristiwa yang memicu gelombang serangan saat ini adalah sesuatu yang dipandang sebagai upaya meningkatkan penampilan kolektif orang Indonesia yang LGBT.
Sementara homoseksualitas tidak pernah ilegal di Indonesia, penyerangan pada LGBT bukanlah hal yang baru. Polisi dan kelompok-kelompok ekstremis Islamis, seperti Front Pembela Islam, sebelumnya pernah menarget LGBT. Pada tahun 2013, Pusat Penelitian Pew melaporkan bahwa 93 persen orang Indonesia berpendapat homoseksualitas tidak boleh diterima di Indonesia—persentase yang lebih tinggi dari negara Asia-Pasifik lainnya yang telah disurvei dan, yang mengkhawatirkan, mendekati angka Nigeria, yaitu 98 persen. Walaupun begitu kita tidak bisa mengandalkan angka ini—hanya 1.000 orang yang disurvei dan pembingkaian pertanyaannyanya mengarah pada respon yang homofobik.
Sementara Indonesia jauh lebih akomodatif terhadap LGBT dari persentase yang ditunjukkan, homofobia bukanlah hal baru di Indonesia. Namun, kecepatan dan durasi dari gelombang sentimen anti-LGBT kali ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Komentar Nasir bahwa perguruan tinggi tidak boleh mendukung kegiatan LGBT dituliskan dalam kepala-kepala berita dengan nada yang membakar, seperti “LGBT tidak diterima di universitas”. Media nasional dan internasional merajalela, buru-buru mengedepankan isu ini sebagai pelarangan LGBT menimba ilmu di universitas di Indonesia. Tergiur oleh perkiraan bahwa sentimen homofobik mereka mungkin akan segera mendapatkan perhatian dan dukungan, para menteri dan pemimpin agama yang konservatif ikut bergabung dalam perdebatan itu. Perdebatan itu terbingkai dalam bahasa yang kian terpolarisasi dan penuh kekerasan. Selama dua bulan setelah munculnya pernyataan Nasir, banyak diucapkan pernyataan-pernyataan yang menghasut dan dilakukan berbagai tindakan.
Republika, terbitan Islam konservatif, menurunkan kepala berita “LGBT ancaman serius.” Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan mungkin 40 juta anggota, menyatakan bahwa orientasi nonheteroseksual tidak sesuai dengan sifat manusia dan bahwa kegiatan LGBT harus dilarang secara hukum. Berliana Kartakusumah, Sekretaris Jenderal Partai Hati Nurani Rakyat, berpendapat: “Menjadi LGBT adalah penyakit menular dan berbahaya. LGBT harus dilarang, seperti kita melarang komunisme dan perdagangan narkoba.” Mantan Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring secara efektif mendorong satu juta pengikut Twitter-nya untuk membunuh setiap orang gay yang mereka temukan.
Ancaman langsung
LGBT disajikan sebagai langsung mengancam Indonesia, dengan Ketua Komisi DPR, dan orang yang bertanggung jawab atas pertahanan, urusan luar negeri, komunikasi, informasi dan intelijens, Mahfudz Siddiq, menyatakan, “Isu LGBT dapat merusak keamanan nasional, identitas, budaya dan iman orang Indonesia.” Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menggambarkan upaya untuk mengakui hak-hak LGBT sebagai percobaan negara-negara Barat untuk melemahkan kedaulatan Indonesia dan ia menyebut gerakan LGBT “perang proksi” yang bertujuan untuk mencuci otak orang Indonesia. Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla secara eksplisit menolak dana PBB yang akan mendukung pekerjaan untuk mengakhiri stigma, diskriminasi dan kekerasan terhadap orang LGBT.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengklasifikasikan homoseksualitas, biseksualitas dan transgenderisme sebagai gangguan jiwa dan mengeluarkan pernyataan, “Kita perlu mempromosikan, mencegah, menyembuhkan dan merehabilitasi orang LGBT.”Anggota PDSKJI Suzy Yusna Dewi berkomentar bahwa “Kami benar-benar peduli tentang mereka. Apa yang kami khawatirkan adalah, jika tidak diobati, kecenderungan seksual seperti itu bisa menjadi kondisi yang umum diterima dalam masyarakat.”
Mengikuti teladan Organisasi Kesehatan Dunia tahun 1990, Indonesia mendeklasifikasikan homoseksualitas sebagai gangguan jiwa pada tahun 1993, meskipun gangguan identitas gender tetap. Langkah PDSKJI sekarang adalah untuk mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai gangguan yang dapat diobati didasarkan pada UU No.18/2014 tentang Kesehatan Mental dan Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa.
Sementara undang-undang maupun pedoman itu tidak menyebutkan LGBT, hal itu tidak mencegah PDSKJI menggunakannya sebagai dukungan untuk membingkai homoseksual dan biseksual sebagai “orang dengan masalah kejiwaan” dan transgender sebagai mengalami “gangguan jiwa.” Bahwa undang-undang itu telah diperluas dengan berprasangka untuk mendukung klasifikasi LGBT ini sangat memprihatinkan.
Larangan radio dan televisi
Komisi Penyiaran Indonesia melarang stasiun radio dan televisi menayangkan acara apa pun yang menggambarkan perilaku LGBT sebagai “normal”. Langkah ini didukung oleh anggota DPR dan yang lainnya yang mengklaim bahwa larangan tersebut akan melindungi anak-anak dan remaja “yang rentan meniru perilaku LGBT menyimpang”. Upaya-upaya telah dilakukan oleh para politisi untuk mewajibkan “rehabilitasi bagi setiap orang yang memiliki sifat LGBT” dan melarang konten online yang dianggap mempromosikan homoseksualitas.
Ketakutan dan kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa ini memaksa banyak orang dalam komunitas LGBT bersembunyi.
Sementara dilaporkan bahwa Menteri Sosial mengusulkan orang-orang LGBT untuk dimandikan dalam air rempah-rempah mendidih untuk menyembuhkan homoseksualitas—sang menteri sebenarnya percaya bahwa cara ini hanya akan manjur untuk pecandu narkotik—dia mendorong pelatihan spiritual sebagai obatnya. Pesantren waria pertama di dunia ditutup dengan paksa. Sejumlah protes anti-LGBT berlangsung sementara demonstrasi pro-LGBT dihalang-halangi oleh polisi.
Ketakutan dan kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa ini, yang kesemuanya terjadi antara bulan Januari dan Maret 2016, memaksa banyak orang dalam komunitas LGBT bersembunyi. Teman-teman LGBT di Indonesia telah mengganti nomer ponsel mereka agar mereka tidak dapat dihubungi; mereka pindah dari rumah kos mereka ke tempat aman yang dirahasiakan; dan mereka menghapus posting-an dan menghapus pertemanan mereka di media sosial karena takut dikenali dan berpotensi diperas. Polisi melakukan pemeriksaan KTP di tempat kumpul LGBT dan menahan mereka yang tanpa KTP atau berasal dari luar daerah. Dede Oetomo, pendiri organisasi hak-hak LGBT GAYa NUSANTARA pada tahun 1987, memberitahukan kepada pengurus organisasi untuk tidak berkantor dahulu karena khawatir akan pelecehan. Dengan organisasi terpaksa bersembunyi maka, antara lain, orang-orang yang membutuhkan perawatan kesehatan seksual dan pengobatan HIV terlalu takut untuk mengakses layanan.
Apa di balik intensitas gejolak saat ini? Saya mengidentifikasi enam faktor gabungan. Pertama, persepsi bahwa LGBT mencoba untuk menyatakan klaim kolektif atas Indonesia memicu amarah pemimpin pemerintah dan agama tingkat tinggi.
Sementara bagi Nasir dan yang lainnya, secara individu LGBT tidak menjadi masalah, sebagai kelompok mereka menjadi masalah. Pandangan bahwa LGBT memperoleh solidaritas eksplisit (dengan dukungan universitas) memprovokasi retorika homofobik dan kehebohan media menggambarkan isu ini sebagai “krisis LGBT”. Patut dicatat, homofobia ini tidak dipicu oleh tuntutan di kalangan komunitas LGBT atas hak untuk menikah atau mengadopsi anak atau untuk melarang diskriminasi.
Hubungan dengan komunis
Pilihan waktu “krisis LGBT” ini tidak luput dari perhatian: setidaknya satu komentator mencatat bahwa kehebohan itu muncul persis ketika akan dilakukan revisi terhadap UU antikorupsi. Selain itu, membingkai LGBT sebagai sebuah “gerakan” memberikan konotasi negatif istilah tersebut di Indonesia, yang dihubungkan dengan komunisme.
Kedua, begitu api disulut, isu hangat persepsi kehancuran moral Indonesia naik ke permukaan. Kontrol sosial yang ketat di bawah Presiden Soeharto yang otoriter (1965-1998) telah digantikan dengan era reformasi, yang bagi sebagian orang sinonim dengan pergaulan bebas. Disahkannya RUU Pornografi pada tahun 2008 merupakan salah satu reaksi terhadap penyimpangan seksual. Gerakan anti-LGBT saat ini adalah perpanjangan dari rasa takut ini.
Ketiga, meningkatnya religiusitas di Indonesia menyediakan amunisi dan dukungan pada retorika anti-LGBT. Sementara kebebasan beragama bisa berlaku (contohnya pencabutan hukum yang melarang polwan mengenakan jilbab di tempat kerja pada tahun 2013), penggunaan Islam sebagai pembenaran pembunuhan LGBT, dan dukungan yang diberikan terhadap pesan-pesan macam itu, sangatlah memprihatinkan.
Keempat, hubungan antagonistik antara Indonesia dan Barat (terutama Australia pasca tuduhan mata-mata dan eksekusi dua narapidana Australia oleh Indonesia) telah memicu sentimen anti-LGBT. LGBT dibingkai sebagai impor dari Barat yang mengancam kedaulatan dan keamanan Indonesia, sebuah pesan yang berbahaya dan keliru yang dianut di banyak bagian Indonesia.
Kelima, ketiadaan kesempatan ekonomi di antara generasi muda telah menghasilkan kelompok laki-laki dan perempuan yang kurang mempunyai cara untuk meluapkan kemarahan mereka. Sasaran empuk untuk meluapkan rasa frustrasi pada pemuda neokonservatif ini adalah komunitas LGBT.
Keenam, penggunaan media sosial di Indonesia mendorong keterlibatan publik dalam perdebatan tersebut dengan cepat dan luas. Tagar Twitter seperti #TolakLGBT dengan cepat menjadi tren dan reaksi terhadap pelarangan emoji LGBT memicu komentar dari seluruh wilayah negara, mendorong perdebatan dengan antusiasme yang luar biasa.
Adakah harapan untuk Indonesia yang mentoleransi, menerima dan merayakan komunitas LGBT? Saya pikir ada, karena tiga alasan utama. Pertama, walaupun banyak penganiayaan pada LGBT berdasarkan agama, sebagian besar masyarakat Indonesia mengikuti Islam yang menerima dan mengakomodasi keberagaman.
Kedua, bahkan para menteri yang membenci komunitas LGBT mengutuk kekerasan dan menyatakan bahwa LGBT merupakan bagian dari Indonesia. Dan ketiga, di tengah-tengah semua retorika jahat dan kekerasan, perdebatan ini membuat LGBT terlihat dalam cara yang sebelumnya tidak mungkin. Ada komunitas LGBT dan pendukung mereka, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, dan sementara komunitas tersebut tertutup mereka sulit diredam.
Terima kasih kepada Dede Oetomo, Tom Boellstorff, Saskia Wieringa, Nursyahbani Katjasungkana dan Ben Murtagh untuk komentar dan saran-saran yang berharga.
Gambar yang ditampilkan
Sebuah unjuk rasa mendukung LGBT, toleransi dan demokrasi di Yogyakarta. Foto: Pius Erlangga/Tempo
Sharyn Graham Davies adalah guru besar madya di Sekolah Ilmu Sosial dan Kebijakan Publik di Auckland University of Technology. Buku terbarunya, yang disunting bersama Linda Bennett, adalah Sex and Sexualities in Contemporary Indonesia.
One thought on ““Toleransi” Indonesia di bawah tekanan seiring meningkatnya wacana anti-LGBT”
Comments are closed.