Polemik keberadaan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia banyak sekali menuai komentar terkait LGBTIQ di Indonesia. Tidak hanya itu, komunitas LGBTIQ di Indonesia sudah dipolitisir dengan banyaknya opini tentang komunitas LGBTIQ,  serta tentang ruang-ruang untuk mendiskusikan keberagaman gender dan seksualitas di lingkup pendidikan tinggi di Indonesia. Opini muncul dari masyarakat sipil, akademisi, hingga pejabat Negara; yang berujung pada semakin tingginya angka kekerasan, stigma, dan diskriminasi yang dialami komunitas LGBTIQ di Indonesia.

Berikut ini komentar diskriminatif dari pejabat-pejabat Negara selama bulan Januari 2016 yang berhasil kami rangkum:

  1. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek) M. Nasir menegaskan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBTIQ) semestinya tidak boleh masuk kampus. Menurutnya, kelompok LGBTIQ bisa merusak moral bangsa, dan kampus sebagai penjaga moral semestinya harus bisa menjaga betul nilai-nilai susila dan nilai luhur bangsa Indonesia (Antara News, 23 Januari 2016).
  2. Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan: “Ya memang ini kan fenomena baru, ya. Ini nggak sesuai dengan budaya kita, harus dilarang karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia,” (Detik.com, 24 januari 2016).
  3. Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PPP, Reni Marlinawati: “Praktik ini selain melanggar norma agama juga bertentangan dengan hukum positif. Dengan tegas kami menolak dan menentang keras praktik ini,” (Republika.co.id, 24 Januari 2016).
  4. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, perilaku menyimpang, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBTIQ), di kalangan remaja harus menjadi perhatian bagi orang tua dan guru. Mereka guru harus menyadari pentingnya nilai-nilai yang dipegang dalam pendidikan, seperti nilai agama, Pancasila, dan budaya. Untuk menjaga (LGBTIQ) itu, maka orang tua dan guru harus sadar bahwa nilai itu harus diajarkan, ditumbuhkan, dan dikembangkan sejak usia dini. Bahkan, sebagian pakar menyebutkan sejak dalam kandungan (Republika.co.id, 24 Januari 2016).

Seluruh pernyataan diskriminatif tersebut adalah tindakan yang inkonstitusional, karena bertentangan dengan prinsip penghormatan HAM di dalam UUD 1945, khususnya di dalam Pasal 28 I ayat (2), yang menjamin perlindungan bagi seluruh warga negara Indonesia dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun. Pernyataan diskriminatif tersebut adalah bentuk perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan kelompok LGBTIQ dan merupakan propaganda kebencian yang berpotensi menyulut kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ di Indonesia. Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip penghormatan  HAM di dalam UUD 1945, khususnya di dalam Pasal 28 G ayat (1) yang menjamin hak bagi setiap warga negara “..atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pernyataan-pernyataan yang melarang kelompok LGBT untuk masuk kedalam kampus karena merusak moral adalah bentuk propaganda kebencian yang melanggar prinsip penghormatan  HAM di dalam UUD 1945, khususnya di dalam Pasal 28 C, yang menjamin hak setiap orang untuk “…mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Para pencetus pernyataan-pernyataan diskriminatif dan propaganda kebencian tersebut adalah pejabat resmi negara yang diamanatkan oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28 I ayat (4), yang menyatakan bahwa Negara, khususnya pemerintah, bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM. Oleh karena itu, dengan mencetuskan pernyataan-pernyataan yang diskriminatif dan propaganda kebencian yang merendahkan martabat kelompok LGBTIQ, maka para pejabat negara tersebut telah melanggar konstitusi dan kewajibannya sebagai aparatur negara untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM di wilayah kedaulatan RI.  Dalam Nawacita, Presiden Jokowi  menjanjikan penengakan HAM dan perlindungan Hukum bagi  seluruh kelompok minoritas . sehingga pernyataan-pernyataan diskriminatif perjabat Negara tersebut, juga merupakan pelanggaran terhadap platform politik Jokowi.

Penelitian yang dilakukan oleh Arus Pelangi tahun 2013 [i] menunjukkan fakta bahwa 89.3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan, di mana 79.1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46.3% dalam bentuk kekerasan fisik, 26.3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45.1% dalam bentuk kekerasan seksual, dan 63.3% dalam bentuk kekerasan budaya.  Dari sekian banyak LGBT yang mengalami kekerasan, 65,2% di antaranya mencari bantuan ke teman, dan 17,3% pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Berangkat dari hal-hal di atas, kami, Forum LGBTIQ Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Komunitas Bumi Kecil, Jaringan GWL-INA menuntut Negara hadir untuk:

  1. Meminta kepada Presiden Jokowi untuk memberikan sanksi tegas kepada Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, Walikota Bandung, dan Pejabat Negara lain nya yang melakukan tindakan inskonstitusional dan mengkhianati Nawacita sebagaimana dipaparkan di atas;
  2. Meminta kepada Ketua DPR RI untuk memberikan sanksi tegas kepada para Anggota Dewan yang melakukan tindakan inskonstitusional berupa ujaran diskriminatif, melalui mekanisme sidang etik;
  3. Meminta kepada Presiden Jokowi untuk melarang dan memerintahkan penghentian segala tindak diskriminasi dan kekerasan (yang diantaranya berupa sweeping dan pengusiran paksa) dalam bentuk apapun yang didasarkan pada orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender, yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh pejabat/aparatur negara (termasuk Kepolisian dan Satpol PP), organisasi masyarakat (termasuk Ormas berbasis Agama), maupun  individu;
  4. Meminta Presiden untuk memerintahkan para aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum kepada seluruh pihak yang melakukan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi yang diantaranya berupa sweeping dan pengusiran paksa terhadap setiap orang dan organisasi LGBTIQ di Indonesia.
  5. Meminta Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri untuk menjamin keamanan dan perlindungan kepada setiap orang dan organisasi LGBTIQ di Indonesia sebagai wujud perlindungan kepada Warga Negara Indonesia
  6. Meminta Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara untuk mengambil upaya-upaya serius menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga Negara yang di dalamnya termasuk orang-orang LGBTIQ, baik di tingkat nasional maupun daerah sejalan dengan berbagai instrumen serta mekanisme HAM yang ada dan telah diratifikasi oleh Indonesia;

Bagi kawan-kawan LGBTIQ di seluruh Indonesia yang mengalami sweeping, pengusiran paksa, kekerasan, dan diskriminasi dapat melaporkan nya melalui SMS ke Arus Pelangi: 081293332150, Slamet GWL INA: 082265403583

 “Hak LGBTIQ adalah Hak Asasi Manusia” JAKARTA, 24 JANUARI 2016

FORUM LGBTIQ INDONESIA, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Komunitas Bumi Kecil, Jaringan GWL-INA

www.forumLGBTIQindonesia.org


[i] Arus Pelangi, KSM, PLUSH 2013/ Menguak stigma, kekerasan, dan diskriminasi pada LGBT di Indonesia

Catatan: Hal yang sangat mendasar yang penting untuk dipahami bersama terkait LGBTIQ dan SOGIE adalah konsep dasar seks (jenis kelamin), gender, dan seksualitas yang tidak biner atau hanya di lihat dari perspektif laki-laki dan perempuan saja atau perspektif maskulin dan feminine saja. Beberapa konsep dasar penting lainnya, diantaranya: Orientasi seksual yang mengacu kepada ketertarikan secara fisik, seksual, emosional dan romantisme kepada jenis kelamin dan (atau) gender tertentu (contohnya: biseksual, heteroseksual, aseksual, dan homoseksual – termasuk gay dan lesbian, sapioseksual, panseksual, dll.). Identitas seksual adalah bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya sehubungan dengan orientasi seksual mereka. Identitas gender adalah bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya (secara gender) sebagai laki-laki, perempuan, dan lainnya (contohnya: transgender, waria, priawan, transman, transwoman, Transgender FTM/MTF, cisgender, cismale, cisfemale, two-spirit, bissu, queer, agender, dll.). Ekspresi gender adalah bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya secara maskulin, feminine, dan lainnya (contohnya: androgyn, no gender, dll.). Perilaku seksual adalah perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik kepada lain jenis ataupun sesama jenis. Identitas, ekspresi, seks (jenis kelamin), orientasi, dan prilaku seksual tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Istilah LGBTIQ dan SOGIE merepresentasikan orang-orang dengan keragaman orientasi seksual, identitas seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan identitas seksual, diantaranya namun tidak terbatas pada Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/ Transeksual, Interseks, dan Queer.