Dlm C. Hooykaas, Modern Maleis Zakelijk Proza (Prosa Biasa Melayu Modern), cet. ke-3 (Groningen & Batavia: J.B. Wolters, 1947), hal. 12-15.

Tulisan berikut ini ditemukan oleh Saskia Wieringa, Guru Besar dalam Gender & Hubungan Sesama Perempuan Lintas Budaya, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial & Perilaku, Universiteit van Amsterdam. Terima kasih diucapkan kepadanya karena telah berbagi materi ini, yang menunjukkan kekayaan budaya keragaman gender-seksualitas nenek moyang kita di Nusantara.

Tulisan aslinya, yang menurut catatan Hooykaas di bagian depan buku terbit pada tahun 1930-an, dalam bahasa Melayu dengan ejaan van Ophuijsen. Untuk memudahkan pembaca masa kini, ejaannya disesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan.

Barangkali di antara tuan-tuan banyak yang bertanya dalam hati pada waktu membaca kepala karangan ini, apa yang disebut pendeta banci itu, boleh jadi karena tidak mengerti akan kata “banci” itu, atau boleh jadi juga karena tidak dapat memahamkan apa yang menjadikan perhubungan antara kedua kata itu, yaitu kata “pendeta” dan kata “banci.” Sebab bukankah yang disebut pendeta itu orang yang beribadat dan tekun pada kepercayaannya atau agamanya, sedang kata banci itu, adalah suatu sebutan pada orang laki-laki yang berlaku dan bertabiat sebagai perempuan. Karena itu maka kata “banci” itu menjadi pula suatu kata ejekan bagi laki-laki yang  bersifat perempuan itu.

Bilangan orang banci di kota Betawi tidak sedikit. Kalau kita berjalan-jalan pada malam hari, dalam tiap-tiap kampung bolehlah kita berjumpa dengan orang yang demikian. Mereka berpakaian sebagai orang perempuan, berambut panjang, lenggang atau gayanya pun sebagai perempuan pula. Kalau berkata suaranya dikecilkan, disertai dengan senyum simpulnya dan tiliknya yang tajam. Pendek kata, adalah kelakuan mereka itu sebagai perempuan belaka. Pada siang hari banyak di antaranya yang bekerja menjadi babu dan babu cuci, serta ada pula yang menjadi kokki. Karena kelakuannya yang ganjil itu seakan-akan mereka itu mempunyai dunia sendiri. Itulah rupanya yang menyebabkan mereka hidup rukun dan menimbulkan cita-cita padanya akan mengadakan suatu perkumpulan yang boleh menguatkan atau mengukuhkan kerukunannya itu. Berhubung dengan cita-citanya itu kabarnya di kota yang tersebut ada suatu perkumpulan daripada banci-banci itu. Salah suatu buah usaha perkumpulan itu, sekarang telah tampak keluar, ialah “Tari Banci.” Tari itu pada orang Betawi sudah termasyhur. Hampir pada tiap-tiap keramaian orang Betawi, tentu disertai juga oleh tari itu. Sekali-sekali keramaian itu dilihat juga oleh orang luar, sehingga kata banci itu boleh jadi di tempat lain-lain pun tidak asing lagi.

Di Celebes Selatan raja-raja pada zaman dahulu senantiasa mempunyai orang banci, yang disebut orang di sana “bisu.” Adalah diceriterakan bahwa bisu itu meskipun laki-laki berpakaian cara perempuan, berbedak dan berpupur seperti perempuan juga. Tetapi yang aneh sekali, ialah bahwa di antara orang “bisu” itu ada pula perempuan yang bersifat sebagai laki-laki, dan mereka pun dipandang pula sebagai pemuka dalam kepercayaannya. Tetapi meskipun mereka berhubungan dengan dewa dan orang halus, mereka tidak diindahkan oleh orang Makassar dan Bugis yang beragama Islam. Pada waktu mereka tidak melakukan perbuatan yang berhubung dengan kepercayaannya, si “bisu” itu senantiasa dihinakan oleh isi istana, bahkan kadang-kadang disabati. Akan tetapi dalam pada itu besarlah kepercayaan orang bahwa mereka itu dapat hidup bergaulan dengan perempuan sebagai perempuan juga. Karena itu mereka dipercayai benar akan menjagai puteri-puteri; pada waktu puteri itu mandi dan berpakaian merekalah yang melayaninya. Tentu saja di antara “bisu” itu ada juga yang lupa akan dirinya. Dalam pada itu dapatlah ia hukuman yang amat berat.

Pada orang Toraja maka pendeta banci itu tidak kedapatan di istana raja-raja saja, tetapi di luar istana pun ada dan dihormati oleh segenap rakyat.

Di Celebes Selatan pada masa ini “bisu” itu hampir hilang sama sekali. Hanya pada beberapa tempat saja misalnya di Segeni dan Pangkajene masih ada seorang dua orang saja. Juga di negeri-negeri yang diduduki bangsa Toraja dan yang mudah didatangi pendeta Nasrani dan peradaban dari luar, bilangan pendeta banci itu menjadi susut sekali. Tetapi di tempat-tempat yang masih sunyi kerap kali masih terdapat pula tempat yang mempunyai pendeta banci, yang disebut di sana “burake tambolang.”

“Burake” yaitu sebutan pendeta perempuan pada bangsa Toraja dan “tambolang” nama semacam burung bangau. Maksudnya sebutan itu untuk memperbedakan dengan burake perempuan yang sesungguhnya dan yang dinamai “burake tattiu,” yaitu nama sejenis burung yang kecil dan lebih lemah daripada burung bangau. Kalau dilihat selintas lalu saja, hamper tak ada perbedaannya antara kedua macam “burake” itu; mereka berhias sebagai perempuan, sehingga kadang-kadang susahlah akan dapat memperbedakan mana yang burake tattiu dan mana yang burake tambolang.

Sesungguhnya pada bangsa Toraja hal memuja kepada dewa-dewa dan arwah ialah pekerjaan perempuan, sedang berperang dan mengayau adalah pekerjaan laki-laki. Ada pula laki-laki yang melakukan barang sesuatu hal yang berhubung dengan kepercayaan mereka dan karena itu besar pengaruhnya serta dihormati orang. Akan tetapi mereka itu bukan pendeta biasa, hanyalah boleh dipandang sebagai dukun saja. Pekerjaan yang harus dilakukan oleh pendeta sehari-hari, adalah menjadi tanggungan perempuan, dan pada pendapat orang Toraja sepatutnya tiap-tiap perempuan menjadi pendeta dalam lingkungannya sendiri-sendiri. Hal itu tentu tidak boleh jadi, sebab perempuan-perempuan itu sehari-hari banyak pekerjaannya baik dalam rumah, maupun di luar. Lain daripada itu banyak di antara perempuan itu yang tidak suka akan menjadi pendeta, sebab meskipun pekerjaan itu dimalui dan dihormati orang, tetapi pada pemandangannya besar bahayanya, karena mudah mendapat murka dari dewa-dewa. Karena itu maka dalam tiap-tiap kampung dipilihlah beberapa orang perempuan, yang akan menjadi pendeta itu. Akan tetapi bagaimanapun jua, lamun tiap-tiap perempuan harus juga merasai jadi pendeta itu. Maka kerapkalilah diadakan semacam keramaian yang harus dihadiri oleh anak-anak gadis yang dipandang sudah cukup umurnya, di bawah pimpinan seorang pendeta perempuan. Maksudnya perbuatan itu ialah supaya anak-anak itu dapat menceraikan semangatnya daripada tubuhnya untuk mengunjungi kayangan. Di situ mereka membantu sekalian dewa dan orang halus melawan iblis dan setan, serta belajar pula segala hal yang patut diketahui oleh pendeta perempuan. Kalau ada seorang anak gadis yang merasa sanggup akan menjalankan pekerjaan pendeta itu, maka dipintalah alamat kepada orang halus, patutkah gadis itu jadi pendeta atau tidak. Setelah itu barulah anak gadis itu mendapat pelajaran supaya kemudian boleh diangkat menjadi pendeta perempuan.

Tentu saja pada pangkat pendeta itu bertali berbagai-bagai keuntungan. Mereka itu dihormati dan dimalui serta dapat bayaran banyak, terutama kalau pandai menyembuhkan penyakit. Pekerjaan yang mendatangkan keuntungan banyak itu tak salah lagi menarik hati laki-laki pula, yang biasanya bekerja berat. Sebab bukankah kalau ia menjadi pendeta tak usah lagi bekerja di ladang dan tak usah lagi berperang? Akan tetapi walau pekerjaan itu sangat menarik hati orang, susahlah jua akan memperolehnya, sebab hanyalah yang terpilih oleh dewa-dewa yang dapat melakukan pekerjaan itu. Tidak sembarang perempuan dapat menjadi pendeta dengan sekehendak hatinya, apalagi laki-laki yang biasanya tidak boleh menjadi pendeta. Hal itu adalah bergantung kepada pilihan dewa-dewa. Kalau ada laki-laki yang hendak menjadi pendeta itu, maka ia harus dapat menyatakan dengan seterang-terangnya, bahwa ia terpilih untuk itu. Tandanya bahwa laki-laki sudah terpilih akan jadi pendeta, kalau ia dengan tiba-tiba kemasukan setan.

Kadang-kadang hal itu terjadi pada waktu keramaian yang bertali dengan agama. Dengan sekonyong-konyong misalnya tubuh orang itu menggigil dan gementar, mulutnya berbuih, kemudian ia berguling, lalu mencabut pedangnya, mempermainkan pedang itu dengan tangkasnya; pendeknya, ia berlaku sebagai orang yang ada dalam pengaruh kekuatan yang gaib.

Kalau keadaan yang demikian itu hanya sebentar saja, tiadalah diperhatikan orang; akan tetapi kalau kerapkali terjadi dalam beberapa bulan, maka dipandang oranglah bahwa ia sudah terpilih oleh dewa-dewa akan jadi “burake tambolang.” Setelah itu maka diadakanlah oleh kaum keluarganya suatu keramaian besar dan pada waktu itu dikumpulkan dukun-dukun untuk menyahkan setan yang masuk ke dalam tubuh orang itu. Bila segala usaha sekalian dukun itu sia-sia belaka, sedang dalam pada itu ternyata bahwa adalah maksud dewa-dewa supaya orang itu menjadi pendeta, kemudian diajarlah ia oleh seorang burake yang paham tentang segala kepandaian pendeta.

Sejak itu ia tidak dipandang lagi sebagai laki-laki, melainkan sebagai perempuan. Segala tanda-tanda yang menunjukkan ia seorang laki-laki dibuangkan, dan ia harus berlaku sebagai perempuan. Lama-kelamaan maka perasaannya pun sebagai perempuan juga, begitu pula pemandangan orang kepadanya.

Kadang-kadang orang yang menjadi burake tambolang itu orang yang sudah beranak-isteri. Hal ini sekali-kali tidak menjadi keberatan baginya, hanyalah perkawinannya dengan isterinya tadi menjadi gugur, sebab tak mungkin perempuan kawin dengan perempuan pula. Sekarang selainnya ia menjadi burake, ia pun menjadi perempuan yang bebas pula. Maka bolehlah ia kawin lagi, tetapi sekarang tentu saja bukan dengan perempuan, melainkan dengan laki-laki. Adakah laki-laki yang suka kawin dengan dia, barangkali orang bertanya dalam hatinya. Jawabnya: banyak! Sebabnya mereka mengingat keuntungan yang akan diperolehnya kalau ia kawin dengan burake. Perkawinan yang demikian itu dilangsungkan dengan keramaian dan tak ada orang yang akan memandangnya tidak patut. Perbedaannya dengan perkawinan biasa ialah bahwa bekas laki-laki itu, kalau ia sudah merasa jemu menjadi burake, dan menjadi bini orang, bolehlah ia bercerai dari suaminya, dengan tak usah menurut sesuatu rukun lagi. Diterangkannya bahwa orang halus sudah hindar dari tubuhnya, sehingga ia tidak sanggup lagi memikul pekerjaan burake.

Tetapi bilamana ia terus juga berlaku sebagai burake, lambat-laun lupalah orang bahwa ia asalnya laki-laki. Maka hiduplah ia bergaulan dengan burake lain, seperti perempuan dengan perempuan. Ia bernyanyi dan menari sebagai perempuan juga, bersenda-gurau dengan laki-laki. [TAMAT]

Tinggalkan komentar