Proses menerima seksualitas seseorang, bagi beberapa orang, telah digambarkan sebagai proses naik-turun emosional. Proses ini ditandai dengan periode-periode puncak yang penuh percaya diri dan keinginan untuk mengungkapkan diri, diikuti oleh periode-periode lembah yang penuh kebingungan dan ketakutan. Kamu tidak sendirian dalam proses ini.
Pendeta Banci Bangsa Toraja
Di Celebes Selatan pada masa ini “bisu” itu hampir hilang sama sekali. Hanya pada beberapa tempat saja misalnya di Segeni dan Pangkajene masih ada seorang dua orang saja. Juga di negeri-negeri yang diduduki bangsa Toraja dan yang mudah didatangi pendeta Nasrani dan peradaban dari luar, bilangan pendeta banci itu menjadi susut sekali. Tetapi di tempat-tempat yang masih sunyi kerap kali masih terdapat pula tempat yang mempunyai pendeta banci, yang disebut di sana “burake tambolang.”
Imam Transgender
Suku Bugis adalah kelompok etnis terbesar di Sulawesi Selatan, berjumlah sekitar tiga juta orang. Kebanyakan orang Bugis adalah Muslim, tetapi ada banyak ritual pra-Islam yang terus dihormati dalam budaya Bugis, dan ini meliputi pandangan berbeda mengenai gender dan seksualitas.
Bahasa mereka menawarkan lima istilah yang merujuk pada berbagai paduan jenis kelamin, gender, dan seksualitas: makkunrai (“perempuan betina[²]”), oroani (“laki-laki jantan”), calalai (“laki-laki betina”), calabai (“perempuan jantan”) dan bissu (“imam transgender”). Definisi singkat ini tidak benar-benar tepat, tapi cukup menjelaskan.
Kuliah Tamu: Methods of Rural Sexuality Research
Tanggal 26 Mei 2016 lalu, GAYa NUSANTARA bekerjasama dengan Program Magister Kajian Sastra & Budaya FIB Unair mengundang Edward J. Green, PhD, untuk berbagi proses dan hasil penelitiannya tentang seksualitas di pedesaan Yogyakarta. Materi kuliah tamu dan hasil penelitan lengkapnya (bahasa Inggris dan Indonesia) bisa di download di https://drive.google.com/open?id=0BylkvJXrKl9AU3RBcUVYdGJxOEE Untuk video bisa dilihat di https://youtu.be/gDutfzl2Gqk