Ditulis oleh Stebby Julionatan*)

Kasus terkini yang masih menarik dan menjadi perhatian saya  mengenai penolakan masyarakat terhadap kelompok minoritas gender dan seksual LGBTIQ+ adalah reaksi keras sekelompok masyarakat terhadap seksualitas Ragil Mahardika yang berujung pada penghapusan dan permintaan maaf Deddy Corbuzier atas video podcast-nya bersama pasangan gay Ragil Mahardika dan Frederik Vollert pada 5 Mei 2022. Bahkan dalam pemberitaan di pelbagai media, dalam permintaan maafnya, Deddy pun menyebut bahwa Ragil  menyimpang. Deddy Corbuzier mengatakan bahwa LGBT adalah sebuah penyimpangan dan ia tidak mendukung penyimpangan tersebut. Disebut juga bahwa secara terang Deddy membantah tudingan bahwa ia mendukung praktik-praktik homoseksual di Indonesia.

Hal menarik lain sebagai rentetan dari kasus di atas adalah saat  mendengar alasan pria kelahiran Jakarta, 28 Desember 1976 tersebut  ketika dirinya ditanya mengapa ia mengundang pasangan gay Ragil Fred ke dalam podcast-nya, Deddy menyampaikan bahwa dirinya  “hanya” ingin membuka dan memaparkan fakta yang terjadi di masyarakat tanpa bermaksud untuk menghakimi. Hal yang menurut saya sangat kontras dengan judul “clickbait” yang dipakai Deddy dalam tayangan podcast Ragil-Fred, yakni “Tutorial Jadi G4y di Indo!! Pindah ke Jerman Ragil dan Fred”.

Gayle Rubin dalam bukunya Thinking Sex: Notes for A Radical  Theory of The Politics of Sexuality yang ia publikasikan pada tahun 1984 telah menulis bagaimana perang dapat terjadi akibat seks (sex war). Dalam buku tersebut Rubin mengisahkan tentang penangkapan kelompok gay di tahun 1950-an yang dilakukan oleh aparat kepolisian  di Amerika yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dan generasi  muda kulit putih borjuis dari perilaku homoseksual. Akibatnya,  dengan cepat kepanikan seksual (sexual panic) terjadi dan menyebar di semua lini kehidupan masyarakat; termasuk aparatur negara. Bahkan, framing-framing yang dimunculkan terhadap kelompok minoritas  seksual tersebut disambut oleh politikus dan lantas diramaikan oleh media. Rubin menyebutnya sebagai sex negativity, yakni ketakutan  yang disebabkan oleh pandangan yang buruk terhadap seks.

Tak saja seks yang dianggap buruk, namun Rubin juga menulis bahwa budaya populer saat itu yang dipenuhi dengan keragaman  erotis, juga dianggap berbahaya, tidak sehat, dan bejat, merupakan  ancaman nasional. Ideologi seksual populer adalah ideologi yang harus dihindari oleh warga negara karena tidak bermoral, menyebabkan dosa, dan laiknya setan yang selalu melakukan  propaganda untuk menggoda manusia.

Rubin lantas memperkenalkan istilah hirarki seksualitas  (hierarchies of sexuality). Menurut sistem ini, seksualitas yang ‘baik’,  ‘normal’, dan ‘alami’ dalam bayangan ideal masyarakat adalah mereka  yang heteroseksual, kawin, monogami, reproduktif, non-komersial,  berada di dalam rumah dan tidak melibatkan pornografi, fetish, sex  toys, dll. Selain hal tersebut, disebut masyarakat sebagai seksualitas  yang ‘buruk’, ‘tidak normal’, dan ‘menyimpang’. Misalnya, perilaku  homoseksual, tidak menikah, nonprokreasi atau seks komersial.

Dalam hirarki seksualitas Rubin, di antara kategori yang ‘baik’ dan ‘buruk’ dalam diagram tersebut ada yang ‘di tengah’. ‘Yang buruk’  tapi “masih baik”. Misalkan, pada perkawinan paksa namun  heteroseksual, orang yang tidak menikah tapi heteroseksual, atau  pasangan homoseksual yang membagi peran gender dengan jelas dan monogami. Atau dengan kata lain, masyarakat masih ‘menerima’ hal  tersebut karena dianggap masih terhormat.

Penelitian Rubin tersebut hendak menegaskan bahwa ‘yang  baik’ dan ‘yang buruk’ sejatinya adalah konstruksi sosial. Ada hegemoni dan relasi kuasa yang membuat posisi heteroseksual, menikah, monogami reproduktif dan nonkomersial berada di atas yang homoseksual, poligami, sensual dan komersial.

Meme yang kemudian bermunculan dan membandingkan Ragil Frederik dengan pasangan lesbian Yumi-Chika yang juga pernah menjadi bintang tamu dalam acara podcast Close The Door-nya Deddy,  juga dengan hubungan bromance antara Victor – Alden (Valden) Masterchef Indonesia Session 9 yang justru banyak mendapat support  dari masyarakat. Hal tersebut menunjukkan apa yang kemudian disebut Kimberly Crenshaw mengenai interseksionalitas. Bahwasanya Ragil dalam persimpangan interseksionalitas tidak hanya ditabrak oleh orientasi seksualnya sebagai seorang gay, tetapi juga  penampilannya yang tidak menarik dan tidak lagi muda.

Kembali ke kasus penyingkiran dan kekerasan (sex war) yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap Raghiel, saya pernah  menanyakan hal tersebut kepada pendiri GAYa NUSANTARA, Dédé Oetomo, mengenai lebih berat mana opresi yang dialami oleh  kelompok LGBTIQ+ di masa awal GAYa NUSANTARA berdiri atau saat ini? Dédé menyampaikan bahwa penolakan terhadap kelompok minoritas seksual semakin mengeras pasca-Orde Baru (Orba). Pasca Orba reaksi kelompok-kelompok konservatif mendapat dukungan  kuat dari orang-orang yang diasingkan pada masa Soeharto. Dalam isu  yang sama (LGBTIQ+) namun di ranah yang berbeda, yakni waria atau transpuan, penelusuran data silang saya menemukan bukti-bukti bahwa keterangan Dédé di atas tersebut akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dua di antaranya adalah artikel ilmiah yang  dimuat dalam jurnal Avatara (terbitan Unesa) yang berjudul Perkembangan Perwakos (Persatuan Waria Kota Suarabaya) Pada 1978-1999 yang ditulis oleh Mohamad Haris Nasution dan potongan artikel dari majalah dewasa Liberty #1454 tahun 1981 yang berjudul “Kesan dari Malam Parade Aktor-Aktoris Perwakos.” Dalam kedua tulisan  tersebut dijelaskan bahwa pada tahun 1981, para waria di Indonesia, khususnya di Kota Surabaya, dapat dengan leluasa menggelar kegiatan  yang tak hanya mendapat dukungan dari warga, tapi juga dari Pemprov Jawa Timur. Hal yang pada tahun itu sangatlah mustahil untuk digelar di Amerika Serikat.

In the United States it would be impossible to have an event like the Night Parade of Perwakos officially attended by  government officials. I once told my friend Pat in New Jersey of  Perwakos’ activities and she shook her head, utterly amazed at how such a thing could occur in Indonesia. In America there are still states that consider men wearing women’s clothes as frauds and punishes them with a gaol sentence or a fine. At least we have advanced a few steps from the United States in not turning our waria sisters into outcast. (Liberty #1454, 18 Juli 1981) 

Bandingkan saja dengan yang terjadi di Indonesia saat ini, saat kelompok transpuan Banten berencana menggelar pemilihan Miss Waria 2021-2022. Bisa kita lihat bagaimana upaya kelompok  masyarakat melaknat bakal kegiatan tersebut, yang kemudian  berujung pada digagalkannya acara pemilihan Miss Waria tersebut secara paksa oleh Pemerintah Kota Serang, Banten. Saya sengaja  menampilkan potongan artikel terbitan sebuah majalah dewasa di Indonesia tahun 1981 di atas agar kita tidak keburu gegabah dan senantiasa mengatakan bahwa budaya LGBT adalah budaya impor dari Barat yang virus ‘busuk’nya tersebut menyebar ke Indonesia berkat  modernisasi dan perkembangan teknologi sebagaimana hujatan-hujatan netizen pada tayangan podcast Ragil-Fred.

Opresi terhadap kelompok minoritas tidak lepas dari politik;  bahkan dalam Islam, agama yang dipeluk Deddy Corbuzier saat ini. Arif Nuh Safri lewat Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas, menyampaikan bahwa fenomena homoseksual adalah hal yang biasa  di dunia Arab dan Islam, tidak dianggap aneh dan diperdebatkan kala itu. Dalam sejarah Islam, semasa hidup Nabi Muhammad, penghukuman terhadap homoseksual tidak pernah terjadi. Hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi setelah meningalnya Nabi Muhammad (Safri, 2020; 154).

Sangsi dan hukuman berat bagi kelompok homoseksual terjadi  di masa khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq. Pada masa  pemerintahan Abu Bakar orang-orang dengan orientasi homoseksual dibakar hidup-hidup. Hal ini diduga karena pada saat itu homoseksual dianggap tidak hanya mengancam kekhalifahannya namun juga mengganggu stabilitas dan otoritas Islam pada umumnya (Abdulhadi  dalam Safri, 2020; 155).

Perlakuan berbeda juga terjadi di masa khalifah kedua, Umar bin Khattab, yang dianggap lebih toleran terhadap homoseksual. Pada  masa ini Umar dikritisi karena mengikuti jejak Abu Bakar al Shiddiq, sehingga hukuman bagi homoseksual diganti menjadi rajam.

Perlakuan berbeda nampak pula pada masa khalifah ketiga dan keempat. Pada masa khalifah ketiga masalah-masalah homoseksual tidak sempat diurus karena terlalu banyak konflik dan kepentingan  termasuk perlawanan dari Ali bin Abi Thalib. Berulangnya masa yang mengerikan bagi kelompok homoseksual dijelaskan Arif Nur Safri terjadi pada masa khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib. Pada masa ini  Ali pernah membuang homoseksual dari atas menara sambil berkata:  “Inilah bagaimana ia akan dibuang ke dalam api neraka.” (Habib dalam Safri, 2020; 156).

Pada masa keemasan Islam, kekhalifahan Abbasiyah, terutama  di masa Harun al-Rasyid, penerimaan terhadap homoseksual jauh  lebih terbuka. Hal tersebut disebabkan sistem pemerintahan yang  sudah normal, sistem birokrasi sudah teratur, dan sudah jauh bergerak dari pemahaman harfiah atas kitab suci. Situasi dan kondisi  kekhalifahan yang sudah mapan tersebut memberi kontribusi besar terhadap ruang diskusi terkait seksualitas dan praktiknya (Safri, 2020). Di periode ini berkembang pesat tulisan tentang seksualitas, termasuk di dalamnya seorang penyair ternama bernama Abu Nawwas. Bahkan pada masa dinasti Uthmaniyah (1281-1922) praktek seksual sesama jenis tidak hanya luas tapi juga terdokumentasi dengan baik (Murray dan Roscoe dalam Safri, 2020; 157).

Dari gambaran sejarah kekhalifahan Islam di atas, bukankah tampak jelas terlihat bahwa kemapanan sistem kekuasaan atau pemerintahan sangat berpengaruh pada penerimaan dan perlindungan terhadap kelompok homoseksual? Lalu, mengapa Deddy Corbuzier (yang katakanlah sudah berkawan akrab dengan Cinta Laura) dan umumnya mayoritas masyarakat Indonesia masih sedemikian bias terhadap pilihan seksualitas Ragil? Jawabnya…  “memang tidak mudah”.

Ya, memang tidak mudah untuk menjadi feminis yang bisa  menerima perbedaan dan keberagaman persepsi dan pilihan orang lain, yang bisa selalu memakai kacamata minoritas, dan bisa selalu  berada di pihak korban. Dalam pengalaman saya pribadi, meski saya memeluk identitas queer, yang dalam bahasa Sedgwick tergolong queer yang beruntung karena memiliki privilege (queer who lives in closet), saya pun tak mudah untuk begitu saja menerima pemikiran bahwa  menjadi gay bukanlah sebuah dosa. Sebab, sebagaimana teori performativitas Judith Butler, dalam tumbuh kembang saya menjadi individu yang dewasa, saya telah dibentuk oleh performativitas wacana arus utama yang beredar pada agama dan keyakinan yang saya  anut, yang mendogma dan menempatkan kelompok LGBTIQ+ sebagai seorang pendosa, tanpa pernah sekalipun saya disuguhi oleh wacana pembanding yang lebih humanis meski pada hakikatnya agama  sejatinya menuntun manusia pada humanisme, dan bukan pada  perilaku yang barbar.

Pengalaman dan perjalanan hidup saya pribadi yang, untuk selanjutnya, boleh dikata telah terlepas dari bias kerangka dan isu dosa homoseksualitas nyatanya masih membutuhkan waktu dan pengalaman yang tak singkat untuk dapat memvalidasi pengalaman  kawan-kawan LGBTIQ+ yang hidup di luar kloset. Saya perlu banyak  belajar dan membaca, saya perlu mengendapkan dan merenungkan pengalaman ketubuhan dan seksualitas saya, saya perlu kepekaan dan sensitivitas untuk lebih memahami kecairan gender dan ketatnya konstruksi jenis kelamin dalam budaya masyarakat dunia; apalagi bagi seorang Deddy Corbuzier yang tidak memiliki tubuh dan memeluk  identitas queer, serta ia baru saja memeluk agama mayoritas di Indonesia. Jalan Deddy untuk memahami queer dan tuntutan wacana  arus utama di agama barunya pasti lebih terjal dan tidak mudah untuk  ia hadapi seorang diri. Jadi, meski saya kecewa pada keputusan Deddy,  alih-alih saya mengambil sikap untuk menyerang dan menyalahkan Deddy, saya jadi lebih bisa memahami posisi dan tekanan yang ia alami, saat podcast bersama Ragil dan Fred yang semula ia buat untuk  tujuan komersil dan menjaring clickbait, pada akhirnya harus ia  turunkan dari kanal YouTube.

Jujur, saya bersepakat dengan apa yang disampaikan Ragil saat dimintai komentar terkait dengan isu penurunan tayangan podcast dirinya bersama Deddy Corbuzier. Bagi Ragil, perbedaan tidak seharusnya membuat kita menjadi jahat. Perbedaan tak lantas harus membuat kita menjadi seorang kriminal sebagaimana yang selama ini yang dituduhkan oleh kelompok homofobik kepada para pemeluk identitas queer. Dalam berita yang sama Ragil pun menambahkan  bahwa penolakan tersebut tidak akan mengubah hidupnya dan membuatnya berhenti untuk berbagi cerita. Ya, Ragil menerangkan  bahwa dirinya dan Fred akan tetap membagi cerita kehidupan mereka melalui ragam kanal media sosial yang mereka miliki. Namun, bagi  saya pribadi, saya tak hanya akan berhenti pada kata “membagikan”.  Saya tidak hanya akan berhenti pada kata membagikan pengalaman ketubuhan queer yang saya miliki tapi tetap juga menekankan keberpihakan.

Tapi, saya pun punya kritik untuk Ragil. Keberpihakan saya pada Ragil bukan berarti keberpihakan yang membabi buta, yang tanpa  kritik, dan yang membenarkan segala tindak tanduk yang Ragil lakukan dalam membagikan pengalaman hidupnya; khususnya hubungannya dengan Fred. Saya mengkritik ketika Ragil lantas membanding-bandingkan status pernikahan dirinya dengan keromantisan relasi “brotherhood” antara Victor dan Alden. Bagi saya cukuplah bagi kita menselebrasi ke-queer-an yang kita miliki tanpa turut terjebak untuk men-queer-kan orang atau pihak lain. Bukankah  itu berarti menciptakan perang seksualitas baru yang seharusnya ingin kita hindari?

Balik pada keberpihakan, saya harap Anda pun demikian. Saya berharap selain lebih memperdalam pemahaman dan keilmuan mengenai kecairan seksualitas dan gender yang dimiliki manusia, sebagai pemeluk ragam identitas queer kita memiliki standing point atau keberpihakan pada kemanusiaan. Kita tidak bisa hanya diam dan membiarkan saja wacana-wacana arus utama tersebut berseliweran dan merusak kemanusiaan, tetapi sesekali waktu harus  “melawannya” dengan menciptakan wacana-wacana alternatif yang  humanis.

Selamat ulang tahun ke-35, GAYa NUSANTARA! Terima kasih  telah senantiasa berjuang untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan  selama ini.

Probolinggo, 20 Juli 2022.

Referensi:

Rubin, Gayle. 1984. Thinking Sex: Notes for A Radical Theory of The Politics of  Sexuality. 

Nasution, Haris Mohamd. Perkembangan Perwakos (Persatuan Waria Kota  Surabaya) Pada 1978-1999. Jurnal Avatara Vol. 6, No. 4 Tahun 2018. 

Oetomo, Dédé. Kesan dari Malam Parade Aktor-Aktoris Perwakos. Liberty #1454. Tahun 1981

Safri, Arif Nuh. (2020) Memahami Keragaman Gender dan Seksualitas: Sebuah  Tafsir Kontekstual Islam. Sleman: Lintang Books.