Apakah kaum gay, lesbian dan waria (GLW) adalah penyimpang seksual/abnormal? Jika “ya”, apakah bisa disembuhkan?
Kalau yang dimaksud adalah “tidak lazim”, mungkin benar juga. Dalam filsafat pascomodern, orang malah cenderung agak jengah kalau terlalu normal atau biasa-biasa saja.

Di Indonesia sudah sejak tahun 1993 (dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, disusun oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Dep-Kes RI), homoseksualitas bukan lagi dianggap gangguan jiwa (penyakit). Sebagian besar ahli jiwa di Barat juga berpandangan bahwa kalaupun ada gangguan jiwa, itu bukan karena homoseksualitasnya per se, melainkan justru karena masyarakat tidak dapat menerimanya. Sayangnya, masih banyak ahli jiwa don dokter kita yang mengabaikan keputusan tahun 1993 itu. Mereka cenderung merancukan obyektivitas ilmiah dengan moralitas sempit (yang nota bene adalah produk suatu konstruksi sosial juga yang sudah usang).

Jadi persoalannya bukan “penularan” homoseksualitas, tetapi realisasi potensi homoseks yang memang sudah ada. Istilah “penyembuhan” juga keliru, jadinya. Yang lebih tepat mungkin adalah “perubahan”. Kalaupun seorang homoseks dari konstruksi sosial modern hendak berubah, paling-paling dia hanya bisa menjauhkan diri dari konteks-konteks kehidupan homo (disko, kumpul-kumpul di taman atau rumah teman, cari laki di plaza-plaza dsb.) dan kemudian menghentikan kegiatan homoseks (namun dorongan homoseksnya tetap saja ada). Tetapi dari pengalaman, perubahan seperti itu tidak akan tahan lama (paling lama 2 tahun).

Mengapa mayoritas masyarakat kita masih belum bisa menerima kehadiran gay?
Dalam masyarakat kita masih kuat nilai budaya pernikahan (heteroseks) dan keluarga. Apa-apa yang di luar itu dipandang tidak lazim, atau bahkan “menyimpang”: orang tidak nikah, misalnya. Masyarakat kita juga sangat heteroseksis, artinya menganggap hanya hubungan seksual don emosional antara lelaki dan perempuan yang dapat diterima. Hubungan lelaki-lelaki, perempuan-perempuan, lelaki-waria dan perempuan-warier dianggap aneh. Nilai budaya pernikahan dan keluarga itu acapkali tak terpisahkan dari nilai religius yang pada kebanyakan masyarakat kita cenderung hitam-putih (kaku). Belum lagi kualitas pendidikan kita yang begitu terbelakang dan rendah membuat kebanyakan orang tidak tahu banyak tentang keanekaragaman seksualitas. Di lain pihak, pada tingkatan perilaku, masyarakat kita (kecuali apabila menyangkut anak atau kerabat langsung) cenderung amat toleran terhadap perbedaan dalam hal gender dan seksualitas.

Perkiraan anda berapa jumlah gay dan lesbian Indonesia dewasa ini?
Literatur aktivisme dari Barat (berdasarkan penelitian Alfred Kinsey (1948, 1953) di Amerika Serikat) cenderung menghitung bahwa jumlah gay dan lesbian (tetapi mereka tidak pernah menghitung waria) adalah 10% dari total penduduk. Apabila kita pakai rumus ini, maka jumlah gay, lesbian dan waria di Indonesia sekitar 20 juta orang. Tetapi untuk masyarakat macam Indonesia, problemnya adalah identitas: tidak semua orang yang melakukan hubungan sesama gender atau dengan waria mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian (bahkan yang berhubungan dengan waria tidak beridentitas apa-apa).

Kalau identitas radar-penuh gay/lesbian/waria dipakai sebagai dasar perhitungan, menurut perkiraan saya sekitar 1% penduduk yang demikian: jadi jumiahnya sekitar 2 juta orang. Namun kalau kita pakai perhitungan cara Kinsey (pernah melakukan hubungan seksual dengan sesama lelaki, setidak-tidaknya sekali), maka jumlahnya bisa mencapai 53%. Untuk Indonesia, ini berarti angkanya sekitar 53 juta lelaki. Kaum waria biasanya mengatakan, kalau perilaku seksual lelaki-waria yang dipakai sebagai dasar perhitungan, persentasenya bisa mencapai 90%, khususnya pada kelas pekerja. Ini berarti dari sekitar 190-an juta kelas pekerja, dengan asumsi separuhnya adalah perempuan (95 juta), maka 85,5 juta lelaki Indonesia pernah atau akan pernah melakukan hubungan seks dengan waria atau yang dianggap waria (termasuk di sini gay atau lelaki biasa).

Berapa persentase usia, profesi dan kota tempat mereka berada?
Untuk mudahnya membayangkan, kita batasi saja perhitungan kita pada yang radar-penuh akan identitasnya sebagai gay atau lesbian: rata-rata usia mereka adalah 20-an, profesinya cenderung pekerjaan kerah putih (kantoran), dan kotanya cenderung di ibukota provinsi atau eks-karesidenan, meskipun di kota kota yang lebih kecil dan desa pun ada juga. Khusus mengenai profesi kaum waria, mereka cenderung di bisnis persalonan (termasuk kursus aerobik dan tari, persewaan pakaian adat dll.), hiburan, dan pekerjaan seksual.

Betulkah dalam kaum gay pun ada strata/kelas? Berdasarkan apa pengelompokan ini?
Kelas sosial yang ada di kalangan gay/lesbian/waria tidak jauh beda dengan kelas sosial di masyarakat pada umumnya. Khusus di kalangan gay, pembagian kelas tampak pada tempat ngeber, cara berpakaian dan berasesoris, yang semuanya berawal pada kombinasi tingkat penghasilan dan aspirasi kelas.

Bisakah anda sedikit paparkan ciri khas seorang gay atau lesbian dari sisi fisik/performance/bahasa simbol?
Dari sisi fisik dan penampilan, sebetulnya sulit diketahui apakah seseorang itu gay atau lesbian (kalau waria tentu cenderung kelihatan). Memang ada stereotip bahwa gay cenderung lelaki feminin, dan perempuan tomboi cenderung lesbian, tetapi ini cuma sebagian dari kaum kita. Kalau dari bahasa, mereka yang bergaul akrab dengan masyarakat gay/waria (termasuk yang bukan pun, seperti misal Debby Sahertian) menggunakan bahasa binan, yang kini banyak meresapi bahasa gaul juga (ditandai kosakata embrong, rumpik, dll. Untuk lengkapnya tilik bagian “bahasa gaul”). Yang patut dicamkan; di mana saja kita berada, pasti ada gay atau lesbian (termasuk di kabinet, universitas, masjid, gereja, sekolah, dll.).

Bagaimanakah cara membedakan gay yang pria dan wanita?
Pertanyaan aneh. Gay ya lelaki. Tidak pernah ada peran pria dan wanita pada kaum gay, kalau itu dihubungkan dengan teknik hubungan seksual (pria = aktifagresif; wanita = pasif-submisif). Dalam berumah-tangga, memang ada pasangan gay yang secara stereotipik mengadopsi peran suami dan istri, tetapi ini pun tidak pernah sekaku pada banyak pasangan heteroseks.

Di mana saja para gay atau lesbian ‘kongkow’, khususnya di Jakarta, Bandung don kota-kota besar lainnya?
Istilah yang dipakai di kalangan gay dan waria adalah “ngeber”. Umumnya gay dan waria dapat ditemui ngeber di alun-alun, plaza/mall, kafe, restoran fast food, disko (satu atau dua kali dalam seminggu jadi hampir eksklusif gay/waria). Pendek kata di mana ada kerumunan orang, di situ rata-rata ada gay/waria. Kaum lesbian lebih tidak tampak dalam hal ini, tetapi umumnya mereka berkumpul di kafe, pub dsb. Di Jakarta, misalnya, Plaza Indonesia (termasuk Kafe Excelso) dan Atrium Senen dikenal sebagai tempat ngeber, begitu juga McDonald’s Sarinah. Di Yogyakarta alun-alun utara populer di waktu malam. Di Surabaya, Tunjungan Plaza populer setiap jam buka, selain di Terminal Joyoboyo (malam Minggu) dan Jl. Kangean (setiap saat). Di Ujungpandang Lapangan Karebosi sudah puluhan tahun populer.

Betulkah kehidupan mereka identik dengan hura-hura dan seks belaka?
Tidak. Kekeliruan umum adalah menganggap gay, lesbian dan waria hanya dari segi seksual belaka. Padahal, seperti masyarakat umum, kehidupan mereka di luar identitas yang diberikan masyarakat tidak ada yang berbeda terlampau jauh.

Apakah perbuatan homoseks bukan dosa?
Perilaku homoseks dianggap dosa dalam tiga agama besar yang muncul di Timur Tengah, yakni agama Yahudi, Kristen dan Islam. Pada dasarnya perilaku itu dikutuk karena suku-suku atau bangsa-bangsa yang bermusuhan di sekitarnya (misalnya bangsa Romawi pada awal perkembangan Kristen) melakukan praktek homoseks, sehingga untuk membedakan diri dari mereka, maka penganut agama yang “benar” haruslah menjauhkan diri dari perbuatan itu. Agama-agama seperti Hindu dan Buddha yang timbul di India tidak secara tersurat melarang perilaku homoseks. Agama Buddha, misalnya, hanya mengatakan bahwa perilaku apa pun yang berlebihan akan menyulitkan orang untuk mencapai nibbana (nirvana).

Berbicara mengenai agama tak dapat dilepaskan dari budaya di sekitarnya. Acapkali tabu atas perbuatan homoseks lebih merupakan reaksi terhadap perbuatan itu sebagai penyimpangan budaya. Secara budaya, kita tahu bahwa Islam ortodoks di pondok-pondok pesantren di Jawa cenderung mentolerir bahkan pernah melembagakan hubungan homoseks yang dikenal dengan laq-dalaq (Madura) atau mairilan (Jawa). Pada awal perkembangan peradaban Kristen pun kita tahu ada cukup banyak rohaniwan, termasuk uskup, yang punya kekasih laki-laki. Agama-agama rakyat malah melibatkan perilaku homoseks sebagai ritus inisiasi. Saya menganggap perilaku dan hubungan homoseks benar saja adanya, karena:
– pada hakikatnya perbuatan yang dilakukan dengan penuh kasih-sayang dan membawa kemaslahatan kedua pihak adalah perbuatan yang baik don luhur;
– ilmu pengetahuan, baik itu psikologi, psikiatri, antropologi don ilmu-ilmu sosial pada umumnya, sejarah, bahkan ilmu tafsir alkitab pun, yang disemangati oleh keberanian berpikir mandiri dan empirik, telah membuktikan bahwa gejala homoseksualitas hanyalah merupakan variasi biasa dalam kehidupan manusia, yang dalam proses perkembangan beberapa peradaban manusia ditabukan oleh pihak-pihak yang antikebebasan, antipluralitas don antidemokrasi.

Homoseksualitas ditentang oleh beberapa pemimpin agama. Bagaimana sikap anda dalam hal ini?
Kebanyakan tokoh agama di negeri ini juga berpendidikan cukup terbelakang dalam pemikiran mutakhir. Yang mau mendengarkan, kita beritahu kenyataannya. Yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu keagamaan, melihat bahwa penafsiran terhadap ajaran agama senantiasa patut disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, nilai-nilai zaman, dsb. Khusus dalam Islam, misalnya, ada suatu kesadaran untuk membedakan mana yang budaya Arab, mana yang universal Islami. Diskriminasi terhadap perempuan, GLW, dapat dipandang sebagai bawaan budaya Yahudi/Arab di masa lampau, sehingga sekarang perlu dipertanyakan apakah dapat dipertahankan.

Bagaimana perhatian pemerintah kita terhadap kaum gay dan lesbian?
Pada umumnya tidak diperhatikan, tetapi pemerintah juga jarang sekali membuat pernyataan melecehkan atau mendiskriminasi kaum ini.

Keberadaan GLW dari sisi hukum itu bagaimana?
Tidak ada masalah soal keberadaan. Soal perilaku seksual, selama dilakukan suka-sama-suka dengan sesama dewasa, tidak melanggar hukum pidana. Yang bermasalah adalah soal pernikahan (UU Perkawinan hanya mengakui dan mengesahkan lelaki dan perempuan), perpajakan (pasangan gay, lesbian atau lelaki-waria tidak dapat memasukkan SPT pajak bersama seperti pasangan heteroseks), imigrasi (pasangan GLW tidak dapat mendapatkan visa RI hanya atas dasar menyertai pasangannya) dan hal-hal perdata lainnya.

Bagaimana peranan pers selama ini terhadap kaum gay, lesbian & waria?
Pers Indonesia secara umum sangat membantu dalam mengangkat homoseksualitas ke dalam wacana publik di negeri ini. Penelitian disertasi Thomas Boellstorff di Surabaya, Denpasar dan Ujungpandang (1997-1998) menunjukkan bahwa rata-rata kaum gay di tiga kota itu menemukan jati dirinya karena membaca liputan di pers, lalu mendatangi tempat ngeber dan/atau menghubungi organisasi gay setempat maupun yang bercakupan nasional (seperti GN).